ANYAMAN pandan jadi kebanggaan masyarakat Kebumen. Kerajinan yang sudah merambah berbagai negara itu bernilai miliaran rupiah.
Bayangkan, 10.000 penganyam pandan di kabupaten berslogan “Beriman” itu bisa menghasilkan lebih dari 35.000 complong (anyaman pandan berbentuk silinder) setiap hari. Jika harga satu complong berkisar Rp 3.000, nilai kerajinan sebanyak itu lebih dari Rp 1 miliar.
Bayangkan, 10.000 penganyam pandan di kabupaten berslogan “Beriman” itu bisa menghasilkan lebih dari 35.000 complong (anyaman pandan berbentuk silinder) setiap hari. Jika harga satu complong berkisar Rp 3.000, nilai kerajinan sebanyak itu lebih dari Rp 1 miliar.
Baru-baru ini, 1.289 penganyam dicatat Museum rekor Dunia Indonesia (Muri). Mereka menganyam complong, disaksikan Menteri Koperasi dan UKM Sjarifuddin Hasan. Pemecahan rekor Muri itu membuat Sjarifudin optimistis ekonomi Indonesia bisa bangkit. Dan, dia berharap ibu-ibu dari Kebumen bisa mengilhami ibu-ibu lain di negeri ini. Sjarifuddin, didampingi Wakil Bupati Djuwarni dan pengusaha kerajinan tangan Dubex asal Desa Kalirejo H Yahya Mustofa, berjanji memamerkan produk anyaman pandan dari Kebumen di Jakarta. “Dengan kebersamaan, saya yakin kemiskinan dan pengangguran bisa ditekan,” katanya.
Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Kebumen, Djoko Soetrisno, mengharapkan perajin anyaman pandan mendirikan koperasi. Hasil kerajinan itu bisa dijual ke pengepul dan dibeli koperasi. Selanjutnya dipasarkan. Selama ini, sebagian besar perajin anyaman pandan di Kebumen hanya membuat complong. Padahal, bahan setengah jadi itu bisa dijadikan aneka barang bernilai lebih tinggi.
Misalnya, tas, topi, boks file, tempat CD, serta bungkus jaket. Kerajinan itu berkualitas ekspor dengan Negara tujuan antara lain Jepang, Australia, negara-negara di Eropa. Selain dijual berupa complong juga dalam bentuk produk jadi.
Pengusaha yang sudah memproduksi antara lain H Yahya Mustofa dan Slamet Riyanto dari Desa Grenggeng, Kecamatan Karanganyar.
Yahya Mustofa berharap pemecahan rekor Muri di Kalirejo itu memotivasi kalangan ibu untuk membangkitkan kerajinan tersebut. Sebab, permintaan dari luar negeri saat ini cukup banyak. Sayang, barangnya kurang.
Ketua Klaster Anyaman Pandan Kebumen, Sarno, juga berharap pemerintah dari kabupaten hingga pusat mendorong pengembangan kerajinan itu. Dia mengusulkan penjualan lewat satu pintu. Pemerintah hendaknya membeli bahan baku complong untuk stabilisasi harga. Sebab, jika sepi order harga complong menurun, sementara barang di pengepul menumpuk. Perajin yang menganyam setiap hari pun kesulitan memasarkan.
“Agar bisa kerja sama dengan pemerintah, kami meminta alokasi anggaran untuk pengelola klaster. Perajin sanggup dikenai retribusi untuk pemasukan daerah,” katanya.
Sang Perintis
Adalah Djumarnah yang merintis anyaman pandan. “Selagi hidup, saya ingin mengabdi ke masyarakat. Betapa bangga saya memiliki keterampilan yang sampai sekarang bisa dimanfaatkan orang banyak,” ujar perempuan berusia 69 tahun, warga RT 1 RW 7 Desa Grenggeng, Kecamatan Karanganyar, Kebumen, itu.
Dia menuturkan sudah berkeliling ke berbagai provinsi untuk melatih keterampilan menganyam pandan. Peraih Upakarti dari Presiden Soeharto 1969 atas jasa pengabdian dalam pengembangan industri kecil dan kerajinan itu pun masih berkeinginan keras menyebarkan keterampilan tersebut kepada orang lain.
“Saya tak diperintah siapa pun. Dengan kemauan sendiri, saya melatih ibu-ibu agar bisa menganyam pandan,” kata dia, yang masih ingat tahun saat awal menularkan keterampilan itu, yakni 1961. Namun apa daya, kini fisiknya tak memungkinkan lagi. Apalagi setelah dia tak bisa melihat.
Saat ini dia tinggal bersama sang suami, Samrah (69). Mereka dikaruniai dua anak, tetapi salah seorang meninggal dunia. Tinggal Maryono (43), yang kini meneruskan keterampilan sang ibu.
Dia menularkan keterampilan kepada warga sekitar di rumahnya. Dari kegiatan itu, warga pun bisa mandiri. Semula mereka menganyam pandan untuk membuat wadah rokok lintingan (slepen) dan caping (tudung). Lantas berkembang setelah Djumarnah kedatangan tamu dari Jakarta, H Saleh, yang memesan anyaman berbentuk sarung bantal berukuran 50 cm x 50 cm. Dia bersama para ibu mengerjakan pesanan yang disebut complong itu.
Bahan setengah jadi itu untuk membuat tas. Karena berkembang pesat, mereka mendirikan semacam koperasi yang diketuai Wongso dan bendahara Premandikin.
Djumarnah mengumpulkan complong dari para perajin dan menyetorkan ke Wongso. Namun karena tersendat, Djumarnah menyetor sendiri ke alamat H Saleh di Jakarta.
Warga yang mahir menganyam pandan pun ikut-ikutan. Bahkan merambah ke desa dan kecamatan lain, seperti Gombong dan Sempor. Ibu-ibu yang belajar menganyam kepada Djumarnah pun makin banyak.
Motif Beda
Kini, mereka tetap membuat complong dengan cara sama sejak dulu. Hanya motif yang berbeda. “Dulu hanya motif beras wutah, sekarang berkembang banyak motif,” katanya.
Dinas Perindustrian pun meminta Djumarnah melatih warga Desa Sintung, Pringgarate, Lombok Barat, selama sebulan. Dia juga melatih warga di Jawa Barat, Jawa Timur, serta berbagai daerah di Jawa Tengah. Tahun 1985, ketika pulang dari pelatihan di Ungaran, dia kecelakaan di Bawen. Akibat kecelakaan itu, hidungnya cacat dan diopname dua hari. Beberapa waktu dia masih bisa melihat, sehingga tetap menganyam pandan. Namun setelah operasi gagal, dia malah buta. Sejak saat itu Djumarnah berhenti menganyam pandan.
Namun dia tak henti mengabdikan diri. Jika kini anyaman pandan Kebumen merambah Eropa dan negara-negara lain di dunia, itu berkat jasa dia.
Sarno menuturkan penganyam kini 10.000 orang, sedangkan yang tercatat di Dekranasda Kebumen 7.000 orang. Dia berharap pemerintah memperhatikan nasib Djumarnah, perintis anyaman pandan.
Itu pula permintaan Djumarnah, yang mendapatkan hak pakai tanah di pinggir jalan raya Purbowangi-Gombong. Di atas tanah itu dibangun toko dengan dana Rp 30 juta dan disewakan. Namun sang penyewa tak membayar selama dua tahun ini. “Saya berharap uang untuk membangun toko itu diganti pemerintah.” (Arif Widodo-51) (/)
Sumber :http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/04/22/184057/Anyaman-Pandan-Bernilai-Miliaran-Rupiah-
Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Kebumen, Djoko Soetrisno, mengharapkan perajin anyaman pandan mendirikan koperasi. Hasil kerajinan itu bisa dijual ke pengepul dan dibeli koperasi. Selanjutnya dipasarkan. Selama ini, sebagian besar perajin anyaman pandan di Kebumen hanya membuat complong. Padahal, bahan setengah jadi itu bisa dijadikan aneka barang bernilai lebih tinggi.
Misalnya, tas, topi, boks file, tempat CD, serta bungkus jaket. Kerajinan itu berkualitas ekspor dengan Negara tujuan antara lain Jepang, Australia, negara-negara di Eropa. Selain dijual berupa complong juga dalam bentuk produk jadi.
Pengusaha yang sudah memproduksi antara lain H Yahya Mustofa dan Slamet Riyanto dari Desa Grenggeng, Kecamatan Karanganyar.
Yahya Mustofa berharap pemecahan rekor Muri di Kalirejo itu memotivasi kalangan ibu untuk membangkitkan kerajinan tersebut. Sebab, permintaan dari luar negeri saat ini cukup banyak. Sayang, barangnya kurang.
Ketua Klaster Anyaman Pandan Kebumen, Sarno, juga berharap pemerintah dari kabupaten hingga pusat mendorong pengembangan kerajinan itu. Dia mengusulkan penjualan lewat satu pintu. Pemerintah hendaknya membeli bahan baku complong untuk stabilisasi harga. Sebab, jika sepi order harga complong menurun, sementara barang di pengepul menumpuk. Perajin yang menganyam setiap hari pun kesulitan memasarkan.
“Agar bisa kerja sama dengan pemerintah, kami meminta alokasi anggaran untuk pengelola klaster. Perajin sanggup dikenai retribusi untuk pemasukan daerah,” katanya.
Sang Perintis
Adalah Djumarnah yang merintis anyaman pandan. “Selagi hidup, saya ingin mengabdi ke masyarakat. Betapa bangga saya memiliki keterampilan yang sampai sekarang bisa dimanfaatkan orang banyak,” ujar perempuan berusia 69 tahun, warga RT 1 RW 7 Desa Grenggeng, Kecamatan Karanganyar, Kebumen, itu.
Dia menuturkan sudah berkeliling ke berbagai provinsi untuk melatih keterampilan menganyam pandan. Peraih Upakarti dari Presiden Soeharto 1969 atas jasa pengabdian dalam pengembangan industri kecil dan kerajinan itu pun masih berkeinginan keras menyebarkan keterampilan tersebut kepada orang lain.
“Saya tak diperintah siapa pun. Dengan kemauan sendiri, saya melatih ibu-ibu agar bisa menganyam pandan,” kata dia, yang masih ingat tahun saat awal menularkan keterampilan itu, yakni 1961. Namun apa daya, kini fisiknya tak memungkinkan lagi. Apalagi setelah dia tak bisa melihat.
Saat ini dia tinggal bersama sang suami, Samrah (69). Mereka dikaruniai dua anak, tetapi salah seorang meninggal dunia. Tinggal Maryono (43), yang kini meneruskan keterampilan sang ibu.
Dia menularkan keterampilan kepada warga sekitar di rumahnya. Dari kegiatan itu, warga pun bisa mandiri. Semula mereka menganyam pandan untuk membuat wadah rokok lintingan (slepen) dan caping (tudung). Lantas berkembang setelah Djumarnah kedatangan tamu dari Jakarta, H Saleh, yang memesan anyaman berbentuk sarung bantal berukuran 50 cm x 50 cm. Dia bersama para ibu mengerjakan pesanan yang disebut complong itu.
Bahan setengah jadi itu untuk membuat tas. Karena berkembang pesat, mereka mendirikan semacam koperasi yang diketuai Wongso dan bendahara Premandikin.
Djumarnah mengumpulkan complong dari para perajin dan menyetorkan ke Wongso. Namun karena tersendat, Djumarnah menyetor sendiri ke alamat H Saleh di Jakarta.
Warga yang mahir menganyam pandan pun ikut-ikutan. Bahkan merambah ke desa dan kecamatan lain, seperti Gombong dan Sempor. Ibu-ibu yang belajar menganyam kepada Djumarnah pun makin banyak.
Motif Beda
Kini, mereka tetap membuat complong dengan cara sama sejak dulu. Hanya motif yang berbeda. “Dulu hanya motif beras wutah, sekarang berkembang banyak motif,” katanya.
Dinas Perindustrian pun meminta Djumarnah melatih warga Desa Sintung, Pringgarate, Lombok Barat, selama sebulan. Dia juga melatih warga di Jawa Barat, Jawa Timur, serta berbagai daerah di Jawa Tengah. Tahun 1985, ketika pulang dari pelatihan di Ungaran, dia kecelakaan di Bawen. Akibat kecelakaan itu, hidungnya cacat dan diopname dua hari. Beberapa waktu dia masih bisa melihat, sehingga tetap menganyam pandan. Namun setelah operasi gagal, dia malah buta. Sejak saat itu Djumarnah berhenti menganyam pandan.
Namun dia tak henti mengabdikan diri. Jika kini anyaman pandan Kebumen merambah Eropa dan negara-negara lain di dunia, itu berkat jasa dia.
Sarno menuturkan penganyam kini 10.000 orang, sedangkan yang tercatat di Dekranasda Kebumen 7.000 orang. Dia berharap pemerintah memperhatikan nasib Djumarnah, perintis anyaman pandan.
Itu pula permintaan Djumarnah, yang mendapatkan hak pakai tanah di pinggir jalan raya Purbowangi-Gombong. Di atas tanah itu dibangun toko dengan dana Rp 30 juta dan disewakan. Namun sang penyewa tak membayar selama dua tahun ini. “Saya berharap uang untuk membangun toko itu diganti pemerintah.” (Arif Widodo-51) (/)
Sumber :http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/04/22/184057/Anyaman-Pandan-Bernilai-Miliaran-Rupiah-